Kamis, 30 Oktober 2008

Tania


Tania wisuda dari TK Happy Holy Kids umurnya 5 tahun

Tania - Bara


Waktu Bara opname di Hermina Depok.

Senin, 27 Oktober 2008

TBS


Torang Bara Sebastian, my cute son.

The Beginning

Shock , rasa tidak percaya menyelimuti perasaan kami, saya dan istri, ketika putra kami yang lagi lucu-lucunya, Torang Bara Sebastian, dinyatakan autis oleh Dr. Ika Widyawati Spkj.
Sejak Bara masih kecil sebenarnya sudah ada tanda-tanda autis tetapi kami tidak ‘mudeng’. Saya masih ingat kalau Bara dipanggil sering tidak ada respon, cuek bebek…kadang menoleh kadang tidak tapi lebih sering tidak. Sejak kecil Bara senang sekali memutar roda mainannya, melihat kipas baling-baling yang berputar bisa berlama-lama. Saya tidak ‘mudeng’ kalau itu tanda-tanda autis saya malah berpikir mungkin Bara senang dengan mekanik, karena Bara juga senang memperhatikan mesin mobil dia langsung mendatangi mobil kalau kap mesinnya saya buka.
Bermula tanggal 5 Agustus 2008, ketika itu kami belum sebulan pindah dari Depok ke Cibubur, Bara sakit demam dan terpaksa saya bawa ke Hermina Depok karena di Cibubur saya belum tahu dokter anak yang bagus. Dokter Kristy di Hermina Depok kenal sekali dengan Bara karena dia yang menangani Bara sejak bayi. Dr. Kristy heran karena usia Bara yang sudah 2 tahun 5 bulan belum juga bisa bicara. Dr. Kristy menyuruh kami hari itu juga untuk konsultasi dengan Dr. Irasmawaty spesialis syaraf (awalnya saya tidak tahu kenapa disuruh ke spesialis syaraf ternyata Dr. Ira termasuk pendiri Yayasan Autis Indonesia dan pemilik klinik tumbuh kembang Pela 9), dia berpengalaman mengatasi gangguan tumbuh kembang anak.
Dr. Ira mengatakan bahwa Bara tidak autis tetapi mengalami Sensory Integration Disorder (SID). Sehingga suara yang didengar Bara terbatas hanya suara-suara tanpa arti, karena apa yang didengarnya tidak diteruskan ke pusat otak atau jikapun diteruskan lambat prosesnya, itu yang menyebabkan Bara belum bisa bicara. Dokter Ira minta Bara diterapi di Pela 9, tidak mungkin lah…..jauh dan mahal. Kami coba terapi di Cibubur Point dan berjalan sekitar 15 kali terapi, hasilnya tidak terlalu menggembirakan.
Lilis, terapis Bara, curiga kalau Bara bukan hanya sekedar SID.

Sekitar 2 minggu sebelum Lebaran 2008 tingkah laku Bara mulai mengkawatirkan. Kalau Bara marah mengamuknya luar biasa, nangis, teriak, benturkan kepala ke tembok atau lantai, memukul, menendang sulit untuk berhenti (temper tantrum). Dalam satu hari dia lebih sering ngamuk dari pada tidak. Kadang-kadang kami paham apa yang menyebabkan dia ngamuk tapi sering tidak paham seolah-olah tanpa sebab. Kaca lampu taman pecah dihajar Bara, untung pecahannya tidak ada yang masuk ke tangannya. Pernah di tempat main bola di Detos samping Hypermart Bara memukul anak laki-laki usia 4-5 tahun hanya karena dia menyenggol Bara sehingga jatuh terduduk. Bara mengejar terus anak itu sampai dipisahkan dan diambil istri saya akibatnya tentu saja Bara mengamuk luar biasa.
Kami putuskan untuk konsultasi dengan psikiater atau psikolog tapi semua pada cuti tidak ada yang praktek lagi, kalau pun ada masuk waiting list yang tidak jelas kapan dapat giliran. Dari berbagai informasi saya dapat cara mengatasi tantrum Bara terutama kebiasaannya self injury, jangan dilarang, jangan kaget atau teriak, pasang muka datar, sedikit berhasil dia jadi tidak terlalu sering membenturkan kepalanya. Kelihatannya dia membenturkan kepala untuk mencari perhatian kami dan karena merasa tidak diperhatikan dia semakin jarang membenturkan kepala sebagai gantinya di merusak apa saja yang bisa diraihnya. Untung saya libur panjang selama Lebaran jadi saya bisa membantu isteri saya menjaga Bara. Saya habiskan liburan saya menjaga anakku, bermain dengannya, memeluk dan menenangkannya kalau dia mengamuk. Kalau sudah begini saya jadi kasihan sama kakaknya. Tania agak sedikit terabaikan, konsentrasi kami penuh ke Bara, untung Tania mengerti kalau Bara perlu perhatian lebih dan khusus. Kami memang melibatkan Tania untuk pemulihan Bara.
Anak saya yang satu itu, Tania, lain lagi….dia cerdas, dewasa, bijak….ucapannya kadang-kadang membuat saya terperangah karena seperti ucapan orang dewasa. Hanya saja kalau lagi makan saya suka jengkel karena dia makan lama sekali, bisa 2-3 jam malah kadang-kadang lebih.


Tanggal 8 Oktober 2008, kami datang ke RS. Pondok Indah konsultasi dengan Dr. Ika. Dokter melihat resep obat yang diberikan Dr. Ira ternyata obat yang diberikan tidak tepat membuat Bara makin hyperaktif (mungkin karena Dr. Ira berpikir Bara hipo). Dr. Ika mengganti obat menjadi Risperdal (belakangan saya khawatir menggunakan obat ini karena kabarnya memiliki efek samping). Dokter berpesan jika Bara marah masukan dalam kamar, katakan “kalau Bara tidak marah lagi papa/mama akan datang menemani Bara lagi” tinggalkan Bara dalam kamar tetapi jangan menutup pintu. Cara ini sangat berhasil mengatasi tantrum Bara, sekarang kalau dia marah kami cuma bilang “kalau Bara marah masuk kamar” dia langsung diam. Kalau sudah diam kami akan memeluknya.

Tanggal 22 Oktober 2008, sesuai jadwal kami datang lagi ke RSPI, kali ini dokter Ika menyuruh Bara terapi dan memberikan obat untuk satu bulan. Terapi…inilah yang bikin pusing. Tidak banyak klinik terapi disekitar Cibubur, tidak tahu yang mana yang bagus tapi terjangkau. Kami tidak berminat untuk mencoba terapi di Cibubur Point lagi. Kami coba ke Talitakum di Madison Times Square, kabarnya Talitakum termasuk bagus.